Rigth Issue vs Wrong Issue

logo-bursa-efek-indonesiaMenjadi pekerja media di Indonesia itu gampang-gampang susah. Kita dituntut untuk tahu segala hal dan siap ditempatkan di desk manapun. Jangan heran, jika tiba-tiba anda dipindahkan ke pos liputan yang sama sekali tidak anda pahami.

Boleh jadi, anda yang sarjana ekonomi diperintahkan liputan di desk kriminal. Adalah hal biasa, lulusan Pendidikan Agama Islam UIN/IAIN/STAIN, jadi wartawan politik. Alumnus fakultas teknik, disuruh memantau pertandingan basket. Anda yang sama sekali tak paham hukum, sangat mungkin diperintah nongkrong di kejaksaan dan pengadilan. Dan apa boleh buat, anda harus siap! Tidak ada alasan: tidak bisa. Harus bisa—seperti judul bukunya Presiden SBY. Hahahaha.

Dampaknya, wartawan yang masuk pos baru harus jungkir balik memahami medan anyar. Pada awal-awal liputan, bersiaplah dimaki dan dicibir narasumber yang memperolok anda karena tidak paham materi yang dibincangkan. Kalau anda mujur, mungkin akan bertemu narasumber yang mau berbagi ilmu. Kalau tidak, ya sudah, terima nasib dan belajar otodidak. Toh sebagai pewarta, kita tidak harus menjadi pakar.

Belum lama ini, saya dipindah liputan ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Setelah sekian lama liputan di politik, mewawancara politisi, menyoal manuver parpol, saya harus memahami pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG), aksi korporasi, dan mengamati laporan keungan perseroan. Ada istilah macam-macam yang semula tidak pernah saya dengar. Ada Emiten; padahal sebelumnya saya hanya mengenal uji emisi. Ada right issue; kok tidak ada wrong issue ya? Macam-macam lah.

Awal mewawancarai narasumber, saya tidak mampu berkata apa-apa. Saya duduk, memperlihatkan muka sok paham, tapi terdiam tanpa sekalipun melontarkan tanya. Cukup menyiapkan recorder, dan biarkan kawan media lain yang bertanya.

Setelah itu, selama berjam-jama saya harus men-transkrip hasil wawancara: apa adanya. Mengubahnya menjadi berita pun butuh waktu sangat lama, tidak seperti biasanya yang kadang cukup lima-sepuluh menit. Ketika menemukan kata-kata yang tidak dimengerti, saya langsung browsing di internet. Thanks google. GBU.

Selanjutnya, pelan-pelan saya mulai memahami sejumlah istilah ekonomi. Tetapi masih kesulitan mengikuti isu yang berkembang di lantai bursa. Tak jauh berbeda ketika dulu pertama kali saya belajar bahasa Jawa: paham artinya, tapi susah mengucapkannya.

Dan saat ini? Ya masih mumet.(*)

8 Tanggapan to “Rigth Issue vs Wrong Issue”

  1. pitik Says:

    hmm..nek wartawane pekok…ya beginilah jadinya…

  2. bangsari Says:

    “Awal mewawancarai narasumber, saya tidak mampu berkata apa-apa. Saya duduk, memperlihatkan muka sok paham, tapi terdiam tanpa sekalipun melontarkan tanya. Cukup menyiapkan recorder, dan biarkan kawan media lain yang bertanya.”

    sumpah iku lucu banget. ngakak-ngakak aku macane…

  3. mikow Says:

    mo jadi wartawan apa aja yang penting update blog 🙂

  4. antown Says:

    kudu siap mental ya kang? itulah kehebatan wartawan. mereka siap diuji di lapang

  5. adipati kademangan Says:

    lek gak onok masalah, sampeyan gak bakalan apdet blog, ya toh ?!

  6. nothing Says:

    setelah tak terlalu sukses di desk hiburan dan desk minggu, saya saiki di pindah ke desk kriminal 🙂
    86

  7. Si Ponang Says:

    wah tambah ngelmu no?

  8. junda Says:

    udah lama saya jadi mo jadi wartawan mas..
    😛
    tapi kayaknya kok jalannya itu belom keliatan ya..haha

Tinggalkan Balasan ke mikow Batalkan balasan